Handmade dari Indonesia : Rafheoo (Bagian 1) (Indonesian Translation)
Dalam tiga artikel pertama, Frank Sedlar mempelajari material dan keterampilan tangan dalam
tas-tas Rafheoo, sebuah perusahaan baru di Jakarta yang memproduksi tas yang kaya akan
tradisi seni Indonesia.
Saya terlelap di dalam taksi yang membelah lautan sepeda motor di Jakarta. Fajar masih
belum menyingsing. Suara adzan masih terdengar sayup di udara. Tiba-tiba sebuah senter
diarahkan ke dalam jendela taksi oleh seorang petugas lalu lintas dan saya pun terbangun. Jarum
jam masih belum menunjukkan pukul 5 pagi, tapi kami sudah harus ‘melancarkan’ perjalanan
dengan memberikan selembar uang 50.000 rupiah. Petugas itu pun mengucapkan terima kasih
dan kami melanjutkan perjalanan menuju stasiun untuk mengejar kereta pukul 5.30 pagi ke Jawa
Tengah.
Begitu turun dari taksi, saya disambut oleh rekan perjalanan saya. Mereka adalah para
otak di balik produsen tas Rafheoo di Jakarta yang mengundang saya untuk melihat proses
pencarian material untuk tas baru dari beberapa seniman terbaik di Jawa. Rencananya, mereka
akan mencari tekstil, batik, gesper, dan kulit. Dan melihat dari tas yang mereka sukai, mereka
sepertinya punya sebuah rencana.
Hal pertama yang akan menarik perhatian Anda tentang tim Rafheoo adalah usia mereka.
Beberapa tahun lalu, keempat kawan ini, Hendi Dermawan Putra, Agra Geneosya, Alif Pratama,
dan Ramadanu, masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Bersama-sama mereka
menjelajahi Indonesia dengan harapan dapat menyingkap keindahan alam di lebih dari 17.000
pulau di Indonesia. Walaupun pemandangan yang indah meninggalkan kesan mendalam bagi
mereka, tas yang mereka gunakan tidak.
Pada saat yang bersamaan, tim Rafheoo dan beberapa kelompok pemuda di Indonesia
lainnya mulai menekuni forum online darahkubiru.com yang
membahas segala hal berbau denim. Kesenangan mereka akan bahan denim terbawa hingga
boots, barang kulit, dan akhirnya, tas. Ketertarikan terhadap tas menjadi tonggak awal berdirinya
Rafheoo pada tahun 2011. Dua tahun kemudian, keempat sahabat ini membuka workshop
mereka sendiri di Jakarta. Tak lama setelah bekerja di tengah-tengah tradisi kerajinan tangan
kolektif Indonesia, Rafheoo mulai mencari perajin untuk mensuplai komponen tas mereka. Para
perajin (yang kebanyakan juga tumbuh bersama darahkubiru.com) inilah yang membuat agenda
perjalanan kali ini sangat padat.
Sementara kereta kami berpacu di antara sawah dan langit biru di Jawa Tengah, tim
Rafheoo memperkenalkan saya pada industri tas Indonesia. Secara keseluruhan, industri ini
masih sangat muda dengan tas-tas yang baru dikenal Carryologist pada tahun 2009. Sementara
industri mengalami kesulitan untuk tumbuh, Hendi mengakui bahwa saat ini mereka masih
belum bisa mencapai level industri atau teknis yang dimiliki produsen-produsen dari Jepang.
Akan tetapi, mungkin hal ini justru lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan Hendi, keadaan ini
mendukung kepercayaan di Indonesia bahwa jika ‘tidak ada mesin, tangan pun jadi’.
Untuk mendemonstrasikan kebenaran kepercayaan ini, tim Rafheoo memutuskan untuk
memproduksi tas baru yang mengedepankan kerajinan tangan, keahlian, dan seni di Indonesia.
Sesuai kepercayaan, seluruh proses pembuatan akan dikerjakan dengan tangan. Karena sekadar
meminta material pesanan kami ke Jakarta saja kurang menarik, kami mengunjungi beberapa
workshop.
Kereta akhirnya berhenti perlahan di stasiun Pekalongan di pesisir utara Pulau Jawa.
Pekalongan dikenal sebagai ‘Kota Batik’— tekstil yang diwarnai dengan menggunakan lilin dan
kini telah diakui UNESCO. Dengan banyaknya pembuat batik di kota ini, warna sungai kota
berubah seiring dengan pesanan batik.
Di sini, kami akan menemui Asfa Fuadi, sang tokoh di balik Lumintu Mills. Walaupun
hanya beberapa tahun lebih tua daripada tim Rafheoo, tekstil telah mengalir dalam darah Asfa.
Mengikuti jejak ayah dan kakeknya (yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia untuk berkeliling
dunia demi mempelajari tekstil), Asfa mempelajari teknik tekstil dan kembali ke Pekalongan
dengan satu tujuan, yaitu mempromosikan dan berinovasi dengan tradisi tekstil kuno kota ini.
Workshop Lumintu Mills yang penuh dengan peralatan memperlihatkan keseriusan Asfa
dalam mencapai golnya. Di satu sisi dinding, terdapat 15 alat tenun Jepang antik yang digunakan
dengan teliti oleh 15 pasang tangan yang masing-masing sibuk menenun. Keindahannya
beresonansi dalam diri Anda.
Sisi lain ruangan menangani tahap akhir pemrosesan kapas mentah sebelum masuk ke
dalam alat tenun— mulai dari mewarnai hingga membungkus. Cukup sulit untuk memahami
presisi pergerakan dalam workshop ini. Pergerakan alat tenun yang menjalin ribuan benang (dua
kali, bukan sekali) menggemakan suara dum-dum-dum-DUM sementara secara teratur
menghasilkan setiap meter kain tenun, yang mencapai hingga 15 meter per hari. Satu-satunya
listrik dalam bangunan ini hanya digunakan untuk menyalakan radio.
Sebagai produsen tas, operasi manual seperti ini memberikan banyak kesempatan bagi
Rafheoo (sebagai catatan, perajin di Lumintu Mills digaji lebih tinggi daripada PNS di
Pekalongan). Warna, pola, ketebalan, kekakuan, dan beberapa opsi lain mempermudah Rafheoo
untuk menciptakan tekstil tas yang inovatif, spesifik, dan berbeda.
Dari Luminto Mills yang dipenuhi tumpukan kain tenun, kami menuju ke sisi lain kota,
yaitu workshop Pak Erlandoto. Workshop ini memperlihatkan proses batik tradisional yang
sudah tua. Sangat tua. Kira-kira lebih dari seribu tahun. Batik sendiri merupakan teknik
pengaplikasian lilin ke atas kain, pewarnaan, pembersihan lilin, dan pengulangan proses tadi.
Hasilnya sangat luar biasa, dan sesuai perkiraan, Rafheoo memesan pola yang sangat khusus
untuk tas mereka.
Workshop Pak Erlando merupakan sebuah tempat yang sibuk, kebalikan dari garis-garis
rapat dan titik-titik penuh presisi yang digoreskan di atas kain di area workshop. Di tengah
ruangan, sekelompok kecil wanita duduk mengelilingi pot berisi lilin panas, mencelupkan
canting mereka ke dalam pot dan dengan lembut meneteskan aliran lilin panas ke atas kain. Di
belakang, para pria mencelupkan kain ke dalam pot berisi pewarna, menjemur, lalu membilas
lapisan liiln dengan menggunakan air panas. Dan itu hanya untuk satu warna. Prosesnya memang
panjang, namun hasilnya sebanding.
Ide untuk pola batik yang didesain Rafheoo datang dari salah satu perjalanan mereka di
Jawa. Di sebuah tempat yang mengingatkan mereka akan film Hollywood, mereka berdiri di atas
sebuah padang bunga edelweiss di sebuah gunung di dekat kota Bogor yang memandangi awan
dari kejauhan. Di Jakarta, seorang teman mereka, Idham Hudayah, membuat sketsa konsep yang
kini tengah dalam proses transformasi menjadi pola batik.
Melihat inspirasi mereka perlahan terwujud dalam bentuk lilin panas yang dituangkan ke
atas salah satu tekstil terbaik di Indonesia akan membuat Anda menyadari proses kreatif di balik
Rafheoo, pembuatan masing-masing tas, dan penghormatan kepada tradisi seni Indonesia.
Padahal, ini baru setengah perjalanan pencarian material untuk tas ini. Dengan wangi lilin panas
di hidung, suara alat tenun di telinga, pola batik yang rumit di mata, dan tas dalam pikiran kami
(pikirkan The Night Before Christmas versi Carryology), kami pun menaiki bis menuju ke
Yogyakarta, pusat kesenian Pulau Jawa.
Translation by Alifa Rachmadia Putri