×
SIGN-UP AND SCORE THE LATEST NEWS ON THE WORLD'S BEST CARRY
Carryology delivered. Your inbox. every two weeks.
Only the best stuff (and giveaways!), we promise.

Brands

Handmade dari Indonesia : Rafheoo  (Bagian 1) (Indonesian Translation)

Handmade dari Indonesia : Rafheoo (Bagian 1) (Indonesian Translation)

by , January 14, 2015

Dalam tiga artikel pertama, Frank Sedlar mempelajari material dan keterampilan tangan dalam

tas-tas Rafheoo, sebuah perusahaan baru di Jakarta yang memproduksi tas yang kaya akan

tradisi seni Indonesia.

 

Saya terlelap di dalam taksi yang membelah lautan sepeda motor di Jakarta. Fajar masih

belum menyingsing. Suara adzan masih terdengar sayup di udara. Tiba-tiba sebuah senter

diarahkan ke dalam jendela taksi oleh seorang petugas lalu lintas dan saya pun terbangun. Jarum

jam masih belum menunjukkan pukul 5 pagi, tapi kami sudah harus ‘melancarkan’ perjalanan

dengan memberikan selembar uang 50.000 rupiah. Petugas itu pun mengucapkan terima kasih

dan kami melanjutkan perjalanan menuju stasiun untuk mengejar kereta pukul 5.30 pagi ke Jawa

Tengah.

 

Begitu turun dari taksi, saya disambut oleh rekan perjalanan saya. Mereka adalah para

otak di balik produsen tas Rafheoo di Jakarta yang mengundang saya untuk melihat proses

pencarian material untuk tas baru dari beberapa seniman terbaik di Jawa. Rencananya, mereka

akan mencari tekstil, batik, gesper, dan kulit. Dan melihat dari tas yang mereka sukai, mereka

sepertinya punya sebuah rencana.

rafheoo

Hal pertama yang akan menarik perhatian Anda tentang tim Rafheoo adalah usia mereka.

Beberapa tahun lalu, keempat kawan ini, Hendi Dermawan Putra, Agra Geneosya, Alif Pratama,

dan Ramadanu, masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Bersama-sama mereka

menjelajahi Indonesia dengan harapan dapat menyingkap keindahan alam di lebih dari 17.000

pulau di Indonesia. Walaupun pemandangan yang indah meninggalkan kesan mendalam bagi

mereka, tas yang mereka gunakan tidak.

Pada saat yang bersamaan, tim Rafheoo dan beberapa kelompok pemuda di Indonesia

lainnya mulai menekuni forum online darahkubiru.com yang

membahas segala hal berbau denim. Kesenangan mereka akan bahan denim terbawa hingga

boots, barang kulit, dan akhirnya, tas. Ketertarikan terhadap tas menjadi tonggak awal berdirinya

Rafheoo pada tahun 2011. Dua tahun kemudian, keempat sahabat ini membuka workshop

mereka sendiri di Jakarta. Tak lama setelah bekerja di tengah-tengah tradisi kerajinan tangan

kolektif Indonesia, Rafheoo mulai mencari perajin untuk mensuplai komponen tas mereka. Para

perajin (yang kebanyakan juga tumbuh bersama darahkubiru.com) inilah yang membuat agenda

perjalanan kali ini sangat padat.

rafheoo

Sementara kereta kami berpacu di antara sawah dan langit biru di Jawa Tengah, tim

Rafheoo memperkenalkan saya pada industri tas Indonesia. Secara keseluruhan, industri ini

masih sangat muda dengan tas-tas yang baru dikenal Carryologist pada tahun 2009. Sementara

industri mengalami kesulitan untuk tumbuh, Hendi mengakui bahwa saat ini mereka masih

belum bisa mencapai level industri atau teknis yang dimiliki produsen-produsen dari Jepang.

Akan tetapi, mungkin hal ini justru lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan Hendi, keadaan ini

mendukung kepercayaan di Indonesia bahwa jika ‘tidak ada mesin, tangan pun jadi’.

Untuk mendemonstrasikan kebenaran kepercayaan ini, tim Rafheoo memutuskan untuk

memproduksi tas baru yang mengedepankan kerajinan tangan, keahlian, dan seni di Indonesia.

Sesuai kepercayaan, seluruh proses pembuatan akan dikerjakan dengan tangan. Karena sekadar

meminta material pesanan kami ke Jakarta saja kurang menarik, kami mengunjungi beberapa

workshop.

rafheoo

Kereta akhirnya berhenti perlahan di stasiun Pekalongan di pesisir utara Pulau Jawa.

Pekalongan dikenal sebagai ‘Kota Batik’— tekstil yang diwarnai dengan menggunakan lilin dan

kini telah diakui UNESCO. Dengan banyaknya pembuat batik di kota ini, warna sungai kota

berubah seiring dengan pesanan batik.

rafheoo

Di sini, kami akan menemui Asfa Fuadi, sang tokoh di balik Lumintu Mills. Walaupun

hanya beberapa tahun lebih tua daripada tim Rafheoo, tekstil telah mengalir dalam darah Asfa.

Mengikuti jejak ayah dan kakeknya (yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia untuk berkeliling

dunia demi mempelajari tekstil), Asfa mempelajari teknik tekstil dan kembali ke Pekalongan

dengan satu tujuan, yaitu mempromosikan dan berinovasi dengan tradisi tekstil kuno kota ini.

rafheoo

Workshop Lumintu Mills yang penuh dengan peralatan memperlihatkan keseriusan Asfa

dalam mencapai golnya. Di satu sisi dinding, terdapat 15 alat tenun Jepang antik yang digunakan

dengan teliti oleh 15 pasang tangan yang masing-masing sibuk menenun. Keindahannya

beresonansi dalam diri Anda.

rafheoo

rafheoo

Sisi lain ruangan menangani tahap akhir pemrosesan kapas mentah sebelum masuk ke

dalam alat tenun— mulai dari mewarnai hingga membungkus. Cukup sulit untuk memahami

presisi pergerakan dalam workshop ini. Pergerakan alat tenun yang menjalin ribuan benang (dua

kali, bukan sekali) menggemakan suara dum-dum-dum-DUM sementara secara teratur

menghasilkan setiap meter kain tenun, yang mencapai hingga 15 meter per hari. Satu-satunya

listrik dalam bangunan ini hanya digunakan untuk menyalakan radio.

rafheoo

rafheoo

Sebagai produsen tas, operasi manual seperti ini memberikan banyak kesempatan bagi

Rafheoo (sebagai catatan, perajin di Lumintu Mills digaji lebih tinggi daripada PNS di

Pekalongan). Warna, pola, ketebalan, kekakuan, dan beberapa opsi lain mempermudah Rafheoo

untuk menciptakan tekstil tas yang inovatif, spesifik, dan berbeda.

rafheoo

rafheoo

Dari Luminto Mills yang dipenuhi tumpukan kain tenun, kami menuju ke sisi lain kota,

yaitu workshop Pak Erlandoto. Workshop ini memperlihatkan proses batik tradisional yang

sudah tua. Sangat tua. Kira-kira lebih dari seribu tahun. Batik sendiri merupakan teknik

pengaplikasian lilin ke atas kain, pewarnaan, pembersihan lilin, dan pengulangan proses tadi.

Hasilnya sangat luar biasa, dan sesuai perkiraan, Rafheoo memesan pola yang sangat khusus

untuk tas mereka.

rafheoo

Workshop Pak Erlando merupakan sebuah tempat yang sibuk, kebalikan dari garis-garis

rapat dan titik-titik penuh presisi yang digoreskan di atas kain di area workshop. Di tengah

ruangan, sekelompok kecil wanita duduk mengelilingi pot berisi lilin panas, mencelupkan

canting mereka ke dalam pot dan dengan lembut meneteskan aliran lilin panas ke atas kain. Di

belakang, para pria mencelupkan kain ke dalam pot berisi pewarna, menjemur, lalu membilas

lapisan liiln dengan menggunakan air panas. Dan itu hanya untuk satu warna. Prosesnya memang

panjang, namun hasilnya sebanding.

rafheoo

Ide untuk pola batik yang didesain Rafheoo datang dari salah satu perjalanan mereka di

Jawa. Di sebuah tempat yang mengingatkan mereka akan film Hollywood, mereka berdiri di atas

sebuah padang bunga edelweiss di sebuah gunung di dekat kota Bogor yang memandangi awan

dari kejauhan. Di Jakarta, seorang teman mereka, Idham Hudayah, membuat sketsa konsep yang

kini tengah dalam proses transformasi menjadi pola batik.

rafheoo

rafheoo

rafheoo

rafheoo

Melihat inspirasi mereka perlahan terwujud dalam bentuk lilin panas yang dituangkan ke

atas salah satu tekstil terbaik di Indonesia akan membuat Anda menyadari proses kreatif di balik

Rafheoo, pembuatan masing-masing tas, dan penghormatan kepada tradisi seni Indonesia.

Padahal, ini baru setengah perjalanan pencarian material untuk tas ini. Dengan wangi lilin panas

di hidung, suara alat tenun di telinga, pola batik yang rumit di mata, dan tas dalam pikiran kami

(pikirkan The Night Before Christmas versi Carryology), kami pun menaiki bis menuju ke

Yogyakarta, pusat kesenian Pulau Jawa.

rafheoo

Translation by Alifa Rachmadia Putri

Subscribe

Carryology delivered. Your inbox. every two weeks. Only the best stuff, we promise.